Sabtu, 05 Juni 2010

Rasanya patut dibaca ulasan dari pak Dahlan ISkan

Ini saya dapat artikel dari teman ITB bab kerakusan sistim kapitalis Amrik dan masalah mortgage yang menggoncang Amrik dan dunia.

Artikel ini sangat bagus, mudah dibaca dan sangat akurat menggambarkannya (paling tidak seperti yang saya amati - kelebihannya, penulis bisa menyampaikan dengan enak dan gamblang).

He knows the economics and business and law.

Semoga mencerahi.

Krisis Subprime di Amerika Serikat
Kalau Langit Masih Kurang Tinggi
Oleh: Dahlan Iskan


Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya ''menceritakan' '
secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga,
banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya bukan dokter.

Saya coba:

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus
berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah
perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal
caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.
Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu
lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau
tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik
dan labanya harus terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang,
sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.
Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik?
Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga
lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung.
Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual
saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.
Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan
baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing
putih terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO
tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum
perburuhan, dan seterusnya.
Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan
dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi
kadang bisa rugi?
Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa
disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya.
Mengapa?

Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO.
Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian
persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima
para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George
Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?
Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti
tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk
terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus
dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru..
Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain.
Kalau tidak boleh diambil ? Beli ! Kalau tidak dijual?
Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.
Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan
berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.
Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para
direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun.
Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah
happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena
dapat dukungan atau sumber dana.
Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan
kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli
kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya.
Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.
Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja.
Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau
negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja
ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia:
USD 2 triliun!
Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti itu
dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS
dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.
Tapi, itu belum cukup.
Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak
cukup lagi: harus computerized!
Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat
harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah
harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.
Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi
perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat,
dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah
yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar
kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya..
Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah?
Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih
besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar?
Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar?
Bagaimana bank bisa lebih besar ?
Bagaimana notaris bisa lebih besar?
Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar ?
Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?
Ada jalan baru.
Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu.
Pada 1980. pemerintah bikin keputusan yang disebut
''Deregulasi Kontrol Moneter''.
Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan
menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan
bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti.
Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.
Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan,
asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang
dimanfaatkan perbankan secara nyata.
Begini ceritanya:

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam
undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan
memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR,
meski tidak sama).
Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil
mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan
karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.
Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang
terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di
Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan
syarat orang yang bisa mendapat mortgage.
Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk
menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank
bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para
broker dan bisnis lain yang terkait.
Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka,
ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986.
Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya:
pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi
pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau
beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.
Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar
biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau
Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen.
Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.
Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis
menjelang 1990.. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang
disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung
menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus
meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.
Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis.
Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam
mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah.
Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh
menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.
Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah
itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan
rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar
itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.
Lalu, apa hubungannya dg bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers?
Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena
fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku bisnis
keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.
Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas
mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah.
Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.
Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para
pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk
membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa
mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh
suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung.
Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.
Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam
undang-undang perbankan yang keras.
Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.
Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis
lain'' yang disebut investment banking.
Apakah investment banking itu bank?
Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas
daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal:
menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan
uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin,
membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang
bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan !
Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.
Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman
tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya
kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja:
kepada bank lain atau kepada sesama investment banking.
Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah
''personal banking''.
Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang
menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya
dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak
sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.
Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya
serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka
lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak
menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.
Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya
orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang
memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.
Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh
besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang
yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas.
Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.
Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat
mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600.
Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan
penghematan pengeluaran.
Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi,
pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari
mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita.
Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai
pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.
Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari
10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita
sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang
jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan
rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak
yang gagal bayar.
Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan
rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain
itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang
beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk.
Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu
lain. Roboh semua.
Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum
ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar.
Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar,
memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan
masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?
Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau
menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak
USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara
Indonesia dijadikan satu.
Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan
rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan
orang Indonesia yang ''menabung'' -kan uangnya di lembaga-lembaga
investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.
Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak
banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada
Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.
Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi
salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan
Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun,
yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara
besar-besaran ke sana.
Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.(*)

Read More……

Apakah Krisis Saat Ini Lebih Hebat dari Great Depression 1929?

Apakah Krisis Saat Ini Lebih Hebat dari Great Depression 1929?

Saat ini timbul perdebatan tentang apakah krisis global yang bersumbu dari gagalnya sistem keuangan Barat (akan) lebih hebat dari Depresi Besar -Great Depression- 1929 ataukah tidak? Dalam sebuah opini New York Times (16/2/2009) dipertanyakan apakah Amerika sudah memasuki depresi? Tentu saja dijawab oleh pemerintah Amerika Serikat TIDAK.

7 indikator yang dapat menjelaskan apakah crash dalam sistem keuangan AS belum mencapai derajat Depresi Besar, sama, ataukah lebih hebat? Berikut indikatornya

# Fakta Pertama

Penurunan pendapatan saat ini lebih buruk dibandingkan saat Amerika pertamakalinya ditimpa Depresi Besar. Pendapatan rata-rata terjun 61% lebih besar dibanding selama Depresi Besar tahun 1930-an. Jatuhnya pendapatan ini adalah yang terbesar dalam 141 tahun terakhir.


# Fakta Kedua

Kerugian konsumen lebih buruk. Kerugian yang dipicu Depresi pada masa lalu masih terbatas pada pasar saham. Tetapi sekarang kerugian bursa New York Stock Exchange sudah menghapus separu uang investor, dan ini baru puncak gunung es saja. Saham terbanyak milik masyarakat sebagai sumber tabungan pensiun telah lenyap sebagaimana mereka telah kehilangan rumah US$ 2,4 trilyun dalam satu tahun.


# Fakta Ketiga

Hutang yang jauh lebih besar. Rasio hutang pada tahun 1929 mencapai 170% PDB sedangkan saat ini lebih besar 2 kali lipat. Hutang rakyat AS kini rasionya 350% PDB 2 kali lebih banyak di banding masa Depresi Besar.

# Fakta Keempat

Derivatif. Kantor Pengawas Currency (OCC) melaporkan bahwa bank-bank Amerika sekarang memiliki derivatif yang sangat besar dan sangat berisiko sebanyak US$ 176 trilyun. Pada tahun 1929 tidak ada trasanksi derivatif.


# Fakta Kelima

Kandasnya raksasa-raksasa keuangan AS. Dalam 18 bulan pertama 1929-32, banyak bank kecil dan menengah yang bangkrut, sedangkan bank berskala besar tidak mengalami kebangkrutan. Kini, banyak raksasa-raksasa keuangan AS yang memiliki sejarah panjang mengalami kebangkrutan seperti Bear Streans, Lehman Brothers, Fannie and Freddie, Washington Mutual, dan Wachovia. Kebangkrutan para raksasa ini kemungkinan besar akan disusul oleh Citigroup dan AIG.


# Fakta Keenam

Hutang Nasional AS. Pada 1929, Amerika merupakan negara pemeri pinjaman (kreditor) dengan cadangan devisa yang besar. Sekarang, Amerika merupakan negara paling banyak hutangnya di dunia dengan ketergantungan yang tinggi terhadap dana asing. Ini artinya kesempatan pemerintah lebih terbatas untuk mendapatkan pinjaman dalam membiayai bailout institusi keuangan raksasa Amerika.


# Fakta Ketujuh

Kebangkrutan ekonomi dan krisis hutang. Beberapa indikator menunjukkan gambaran suram Amerika.

Harga rumah jatuh 18,5%
Penjualan rumah yang ada mencapai level paling rendah dalam 12 tahun
Penjualan rumah baru mencapai titik paling bawah disepanjang tahun
Secara tak terduga, keluarga Amerika yang kehilangan gaji dalam bulan Februari mencapai 697 ribu bertambah 25% dibanding Januari.

Indikator-indikator yang dipaparkan oleh Weiss ini memberitahukan kepada kita bahwa kondisi Amerika saat ini jauh lebih buruk dibanding Depresi Besar 1929.

Sementara itu, Amerika di bawah kepemimpinan Obama memasuki era “kebangkrutan fiskal”. Pada tahun ini, defisit APBN berada pada tingkat paling buruk sepanjang sejarah AS sejak Perang Dunia II tahun 1942. Defisit keuangan pemerintah Amerika mencapai 12,3% PDB AS. Dengan nilai anggaran US$ 3,6 trilyun maka defisit fiskal mencakup 48,61% APBN AS.

Hutang publik Amerika pada saat ini bertambah US$ 1.459Â trilyun atau meningkat 13,675% dari US$ 9,210 trilyun di awal tahun 2008 menjadi US$ 10,669 trilyun pada 24 Februari 2009. Rasio hutang pemerintah federal Amerika ini mencapai 76,01% PDB.

Read More……

Kapankah Bom Hutang akan Meledak?

Kapankah Bom Hutang akan Meledak?

Monday, 26 April 2010 10:21
Oleh: Nico Omer Jonckheere

Apabila Anda suka baca atau lihat berita mengenai perkembangan perekonomian dunia, mungkin saja Anda sudah bosan mendengar kabar terakhir tentang kesulitan yang dialami oleh Yunani untuk menutupi defisitnya. Tetapi suatu hal yang perlu dipahami oleh setiap investor pada saat ini adalah bahwa masalah dengan hutang publik yang berlebihan akan menjadi salah satu faktor – dan bahkan kemungkinan faktor paling dominan – yang menentukan ekonomi global dalam dasawarsa ini.

Oleh karena itu, Anda yang telah terbiasa menanamkan modal di pasar valuta asing, pasar modal, ataupun pasar komoditas sebaiknya memperhatikan persoalan ini dengan seksama. Berhubungan Amerika Serikat merupakan perekonomian terbesar di dunia dan pada umumnya mempengaruhi sekali pergerakan mata uang maupun saham dimanapun juga, akan saya coba membahas “BOM HUTANG” AS yang makin hari jadi makin menakutkan. Namun demikian apapun yang saya tulis dalam artikel ini pun berlaku untuk negara maju yang lainnya – seperti Inggris, negara yang tergabung dalam Uni Eropa, dan Jepang – karena semuanya memang menderita “penyakit” yang sama.

Hampir dibutuhkan 200 tahun untuk hutang negara AS mencapai $1 trilyun, yang terjadi pada tahun 1981. Sejak itu hutang dengan cepat membengkak ke $5 trilyunan di 2000 dan sekarang sudah melebihi $12 trilyun. Pendek kata pembuat kebijakan AS telah menambah lebih banyak hutang selama dasawarsa yang baru saja berakhir dibanding 100 tahun sebelumnya! Sungguh mengerikan memang ... dan bahkan diperkirakan hutang AS dalam 10 tahun berikutnya akan naik lebih lanjut ke $25 trilyun.

Jadi jangan heran apabila defisit sekarang adalah yang terbesar sejak Perang Dunia Kedua. Seperti dapat Anda lihat pada grafik dibawah ini, defisit AS pada tahun lalu yang sebesar $1,4 trilyun adalah 260% dari defisit yang diderita oleh pemerintah AS selama tahun-tahun yang terburuk dari perang tersebut.

Namun ada perbedaan yang sangat mencolok antara waktu itu dan masa kini: pada saat AS mulai bertempur, mereka tahu bahwa pada akhirnya perang pasti akan usai dan pengeluaran pemerintah akan mampu dikurangi secara signifikan. Tetapi pada saat ini, dengan biaya untuk tentara yang masih setinggi 20% dari pengeluaran AS, sebagian besar dari ongkos pemerintah ditujukkan untuk Social Security dan Medicare, yang hampir tidak mungkin dapat diturunkan. Pada kenyataan, boleh dikatakan bahwa tanggungan tersebut justru akan meningkat dari tahun ke tahun.


Apakah ada pemecahannya?
“We can’t solve problems by usingthe same kind of thinking we usedwhen we created them.”-Albert Einstein-

Apabila sebuah keluarga misalnya memiliki terlalu banyak hutang, apa yang perlu dilakukan? Tepat sekali, semua anggota dalam keluarga tersebut harus bekerjasama dengan baik untuk mengurangi pengeluaran mereka dan sebisa mungkin mencari pendapatan tambahan. Itupun sama untuk berbagai pemerintahan di dunia dimana kondisi fiskalnya benar-benar menyedihkan.
Pada dasarnya mereka punya dua pilihan: meminjam dan mencetak uang secara terus-menerus, atau mengurangi pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak.

Menurut hemat Anda, kira-kira pilihan apa yang akan paling disukai oleh kebanyakan orang politik? Selama ini memang terbukti bahwa mereka tidak punya rencana jangka panjang untuk mengatasi defisitnya dan cenderung memilih untuk meminjam dan mencetak uang lebih banyak lagi.


Mengapa demikian? Sebab orang politik tahu bahwa mereka akan sulit terpilih kembali apabila mengambil kebijakan yang kurang populer, dan berharap masalahnya akan selesai dengan sendiri. Namun makin lama defisit dibiarkan membengkak, suatu breaking point atau titik jenuh akan tercapai dimana pelaku pasar kehilangan kesabarannya dan pemerintah terpaksa mengambil tindakan yang diperlukan.


Hanya saja paradoksnya adalah bahwa apa yang mungkin merupakan “obat” yang tepat untuk suatu “pendosa fiskal” tidak bagus untuk setengah dari perekonomian dunia secara bersamaan. Seandainya semua negara maju mengetatkan likuiditasnya secara serentak, pemulihan ekonomi memang terancam mandek.

Peringatan dari Moody’s

Kekhawatiran mengenai pertumbuhan dari hutang nasional atau publik mendorong Moody’s Investors Service beberapa waktu lalu untuk memperingatkan bahwa Amerika Serikat dan negara Barat lainnya sedang menuju makin dekat ke titik dimana mereka bisa kehilangan peringkat hutang tertinggi (Aaa) mereka. Karena perkiraan defisit anggaran kini begitu besar dan AS tetap saja melanjutkan pencetakan dolar AS lebih banyak, pada suatu saat nanti kreditor asing – seperti investor dari Cina, Jepang, dan Timur Tengah yang memiliki hampir setengah dari surat hutang AS – pada akhirnya akan meminta pengembalian atau tingkat suku bunga yang lebih tinggi sebelum mereka mau memberikan pinjaman lagi ke AS.

Tingkat suku bunga yang naik merupakan bahaya luar biasa untuk AS. Tidak hanya perusahaan akan merasakan dampaknya, tetapi juga biaya hutang nasional AS akan meningkat kedepan. Hukum majemuk dengan sendiri akan memastikan biaya hutang AS meroket dan kondisi keuangannya memasuki suatu ‘death spiral’ atau “lingkaran setan”. Secara sederhana ketika P (price atau harga) mulai beranjak naik secara bersamaan dengan Q (quantity atau jumlah), hasilnya dipastikan tidak akan menyenangkan. Dan pada saat hutang publik secara konsisten bertumbuh lebih cepat daripada perekonomian, GAME OVER.

Dengan jumlah hutang yang meledak dan pendapatan pajak yang jatuh, kecil kemungkinan AS mampu membayar kembali hutangnya. Bahkan, dengan hutang yang telah diluar kendali, tingkat suku bunga bisa naik secara signifikan ke 10% sampai 20% per tahun. Seandainya kita menerapkan suatu suku bunga sebesar 15% pada hutang senilai $25 trilyun, jumlah pembayaran bunga tahunan akan mencapai $3,75 trilyun atau sama dengan SELURUH ANGGARAN untuk tahun ini. Coba bayangkan saja ...


Implikasi terhadap investasi Anda

Pada saat ini, saya berani mengatakan akan benar-benar terkejut sekali apabila AS dan perekonomian dunia berhasil menghindarkan suatu BENCANA KEUANGAN dalam beberapa tahun kedepan. Saya sama sekali tidak melihat jalan keluar yang mudah, dan kebanyakan investor belum memikirkan masalah ini secara mendalam jadi mungkin saja mereka akan terjebak olehnya. Dari jaman dulu sampai sekarang, hutang selalu berlaku sebagai suatu pedang bermata dua. Islandia kini telah mengerti pelajaran itu dengan baik. Juga Dubai dan Yunani. Dan ... masih banyak negara yang lain – termasuk Amerika Serikat – segera akan belajar hal tersebut juga.

Pokoknya siapapun tidak dapat meminjam secara terus-menerus sejumlah uang yang melebihi pendapatannya, baik itu sebagai suatu keluarga ataupun suatu pemerintahan, tanpa menjadi bangkrut pada akhirnya. Dengan kata lain, Anda tidak dapat menyelesaikan kelebihan hutang dengan menambah hutang lagi.

Seperti dapat Anda lihat pada grafik di atas ini, puncak pertama adalah “gunung hutang” yang terakumulasi selama pada tahun 1933, yang membutuhkan sekitar the Great Depression dua dasawarsa untuk diturunkan. Sedangkan puncak yang lebih besar sebelah kanan tentunya merupakan hutang yang sedang menumpuk terus pada saat ini. Dengan $3,70 hutang untuk setiap dolar PDB (produk domestik bruto), hutang AS memang sudah sangat keterlaluan! Dan pikir-pikir ... uhm ... kira-kira berapa tahun yang akan dibutuhkan sekarang iya untuk “turun dari gunung hutang”?

Nah, pertanyaan terakhir adalah bagaimana Anda sebagai seorang investor bisa mengamankan dana Anda dari krisis kredit yang mendatang dan memanfaatkan peluang investasi yang akan muncul kedepan?

(*Penulis Vice President, Research & Analysis. Tinggal di Jakarta. Tulisan ini merupakan pengantar seminar tentang pasar modal BEI Investor Club Jakarta pada tanggal 30 Januari 2010 dan yang akan digelar 28 April di Medan)

NB: Bangtoyip juga dikasih kartu namanya hehehehehehe......






Read More……