Senin, 17 Mei 2010

Kisah Tukang Pisang

Seperti biasanya malam itu (sekitar pkl 21.30 wib)saya dan dua orang tetangga kompleksku ngobrol digardu siskamling samping rumahku. Sedang asyik kami ngobrol-ngobrol,dari soal politik, olah raga sampe masalah warga kompleks dibahasdengan lugas layaknya talk show di TV-TV yang sedang marak, lewatlahseorang tukang pisang dengan ditemani seorang bocah seumuran anak SD,menjajakan dagangannya, "Pisang... pisang..," begitu teriaknya.

Terhenti sejenak obrolan kami mengamati si tukangpisang tersebut, muncul beberapa pertanyaan diantarakami, "Mengapa sudah malam begini masih ada saja tukangpisang keliling?" celetuk salah satu tetangga sebutsaja Dedi.

"Kenapa bawa anak kecil segala?" tandas Eri tetanggaku dengan kritisnya."Ada apa keranjang pisangnya dipegangi anaknya itu?"tanyaku dengan penuh selidik.

Akhirnya kami mencoba menegurnya, "Wah, malam-malammasih ada pisang ya mang?" tanyaku."Iya pak,ada pisang raja dan ambon, masih seger danmasak dipohon pak" sahut si tukang pisang. "Ini anakmamang?" tanya Dedi."Iya pak, anak saya yang ke dua," sahutnya."Kok malam-malam ikut jualan apa tidak belajar?" tanyaEri penasaran."Sudah belajar pak tadi sore sebelum nganter bapakjualan" jawab anak itu."Kok Bapak malam-malam masih jualan bawa anak lagi,apa gak kasihan anak Bapak kan besok pagi-pagi haruske sekolah" tanya ku."Bapak saya buta, jadi terpaksa harus diantar kalaumau jualan keliling pak" sahut anak itu menjelaskan.

Kami begitu kaget mendengar penjelasan seorang bocahingusan yang begitu berbakti kepada orang tuanya yangsedang berusaha itu. Bagaimana tidak, seorang penjualpisang sampai malam begitu dia keliling kompleksditemani anaknya yang sesuai SD itu.

"Bapak kalau pagi mangkal di dekat pasar, selepasashar beliau keliling komplek pak, untuk menjual sisa dagangannya,"timpal anak itu. Itu semua dilakukan demi menghidupi dua anak dansang istri.

Dengan rasa simpati kami saling bisik-bisik untukmembelinya. Karena begitu terharu saya dan dua orangtetanggaku membeli pisang dengan melebihkan pembayarandari harga yang ditawarkanya. Tapi apa yang kamilakukan rupanya mendapat tanggapan berbeda dari situkang pisang.

"Ini pak, kembaliannya seribu rupiah," tukas si tukangpisang."Sudah buat bapak dan anak bapak saja," jawab kamiserempak tanpa sadar."Maaf pak saya jualan bukan pengemis," sahutnya.

Dia mengembalikan semua kelebihan uang kami yangsebenarnya sengaja kami berikan. Kemudian si tukangpisang permisi dan pergi bersama anaknya menjajakandagangannya sembari menuju pulang ke kampungnya.

Terbetik dalam sanubari kami masing-masing, masih adaorang jujur dan mulia di dunia ini. Uang lebih seriburupiah pun tidak dia terima (karena bukan haknya) demiharga diri dan prinsip yang begitu luhur.

"Saya jualan bukan pengemis pak," dinyatakan olehseorang tukang pisang yang buta.

Ada dua pelajaran berharga yang kita bisa petik darikisah tersebut:

Pertama seandainya mental itu (tidak rakus pada harta yang bukan haknya) ada di sanubari semua penjabat kita tentu triliunan rupiah uang negara (rakyat) yang bisa diselamatkan dinegeri ini untuk mensejahterakan umat, tidak terkecuali kita juga tentunya.

Kedua betapa optimisnya si tukang pisang, dengankondisi yang buta dia keliling kompleks sampai larutmalam mencari rejeki, sementara kita orang yang lebihberuntung (mata normal) mungkin sudah santai nonton TVatau beranjak tidur.

Semoga kita bisa lebih mensyukuri nikmat dan anugerahTuhan kepada kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar