Kamis, 22 Januari 2009

Kecerdasan Investasi, Butuh Keseimbangan Emosi

’’Saya menyesal, mengapa dulu saya buru-buru jual,’’ kata Bear sambil ngobrol santai dengan rekannya, Bull di sebuah cafe. ’’Menjual apa?’’ sahut Bull. ‘’Saya waktu itu pegang saham Timah (TINS). Untuk ukuran saya jumlahnya lumayan banyak 100 lot,’’ ujarnya sembari mengenang kejadian sekitar dua tahun silam. ‘’Mengapa kamu menyesal?’’ tanya Bull penasaran.
‘’Ya,siapa yang tidak menyesal. Saya ingat betul waktu itu 13 November 2006. Saya membeli TINS di harga Rp 2.200, harga tertinggi. Lantas saat penutupan harganya turun menjadi Rp 2.100. Saya cukup was-was juga, apakah akan saya cut loss atau hold. Dengan beberapa pertimbangan akhirnya saya hold,’’ papar Bear.
‘’Lho bagus dong, kenapa sekarang menyesal,’’ imbuh Bull yang belum paham mengapa rekannya menyesali sikapnya. ‘’Iya saya terlalu cepat puas. Waktu harga TINS naik sampai Rp 3.000, saya pikir kenaikan itu sudah hampir 50 persen. Akhirnya saya lepas di harga Rp 3.200. Praktis, saya menyimpan saham TINS selama satu bulan, karena waktu saya jual kalau tidak salah tanggal 12 Desember 2006,’’ tuturnya.
Bull langsung paham mengapa rekannya tenggelam dalam rasa sesal yang cukup panjang. Andai saja Bear belum melepas sahamnya, maka ia akan menikmati keun tungan yang fantastis. Pengalaman Bear di atas juga dialami oleh banyak investor di pasar modal. Penyesalan datangnya selalu belakangan, setelah ada kejadian yang sama sekali tidak diduga sebelumnya. Secara logika, saat itu tidak ada seorangpun yang menyesalkan sikap Bear, bahkan cukup banyak yang memujinya.
Bayangkan hanya dalam tempo satu bulan kurang satu hari, Bear mampu memetik keuntungan berupa capital gain hampir 50%. Dalam kondisi normal, jarang sekali ada instrumen investasi yang bisa memberikan keuntungan sefantastis itu, apakah itu valas, emas ataupun properti.
Ketika membeli 100 lot saham TINS di harga Rp 2.200, Bear mengeluarkan dana Rp 110 juta. Dan, saat menjual TINS di harga Rp 3.200, Bear menerima uang Rp 160 juta. Tentu nilai itu harus dipotong biaya transaksi. Artinya, Bear meraup untung Rp 50 juta. Ketika berhasil menjual di harga Rp 3.200, Bear bangganya bukan main. Ia tersenyum menikmati keuntungan yang jarang terjadi.
Penyesalan Bear baru terjadi pada hari berikutnya. Hari demi hari penyesalan itu semakin menyesakkan dada. Bagaimana tidak? Hari demi hari harga saham TINS bukannya didera aksi ambil untung (profit taking) sebagaimana yang sering terjadi pada saham-saham lain. Tapi justru sebaliknya.
Harga TINS semakin bergerak di luar dugaan. Logika sehat tidak meyakini bahwa harga TINS terbang di luar batas akal sehat. Pada akhir Desember 2006, harga TINS ditutup di Rp 4.425. Lantas pada akhir Januari 2007 nilainya telah mencapai Rp 7.150. Sampai di titik ini, investor telah terperangah, tidak menduga sama sekali. Hanya dalam tempo tiga bulan TINS menanjak lebih dari tiga kali lipat.
Dan ternyata pergerakan harga saham TINS masih belum berhenti di situ. Hari demi hari, pekan demi pekan dan bulan demi bulan adalah masa eforia yang mengesankan bagi pemegang saham TINS. Saham produsen timah ini mencuatkan sebuah keajaiban di pasar modal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keajaiban TINS mencapai puncaknya pada 1 Juli 2008 ketika harga pasar ditutup di titik tertinggi Rp 38.800. Dalam masa itu, perusahaan telah membagi dividen dua kali. Pertama dilakukan pada 14 Mei 2007 dan kedua dilakukan pada 18 Mei 2008.
Sikap atau keputusan investasi harus diakui seringkali menghadapi banyak godaan, baik yang berasal dari diri sendiri maupun profokasi dari orang lain. Makanya, tidak jarang kita menemukan investor yang bertahun-tahun menghabiskan waktunya di pasar modal, memperhatikan pergerakan harga saham setiap hari dan mencermati setiap perkembangan yang terjadi tapi belum menunjukkan tingkat keberhasilan yang maksimal.
Mungkin perlu ada satu penelitian terhadap perilaku investor. Berapa tahun mereka berkecimpung dan berinvestasi di pasar modal, bagaimana aktifitas investasi seharihari apakah masuk kategori investor aktif atau investor pasif, berapa banyak uang yang di investasikan dan seberapa hasil yang bisa dipetik. Berapa besar imbal hasil investasi (rate of return ) yang bisa dinikmati?
Memadaikah, optimalkah? Proporsionalkah dengan opportunity cost yang dikeluarkan? Bagaimana hasil investasi itu jika dibandingkan dengan jenis investasi lainnya, seperti deposito, valas, emas, properti atau tanah dan sebagainya? Investasi mana yang menghasilkan keuntungan terbesar?
Prilaku investor dalam berinvestasi termasuk salah satu kunci keberhasilan dari investasi itu sendiri. Apakah si investor berprilaku seperti spekulator yang keputusan investasinya lebih banyak ditentukan oleh feeling semata, ataukah investor itu memiliki kecerdasan investasi yang mumpuni? Kecerdasan investasi pun kadangkala tidak menjamin keberhasilan investor untuk membuahkan hasil investasi yang optimal. Dibutuhkan adanya keseimbangan antara kecerdasan intelektual dalam berinvestasi dengan kestabilan emosi.
Kecerdasan investasi lebih banyak berkaitan dengan skill, kemampuan, kepiawaian teknik, strategi dan teori-teori investasi. Melalui kecerdasannya, seorang investor bisa mengukur besarnya risiko, bisa menghitung probabilitas keberhasilan sebuah investasi. Namun, kecerdasan ini seringkali masih bisa ditumbangkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis.
Dalam praktek, fenomena adanya ketidak seimbangan antara kecerdasan intelektual berinvestasi dengan kestabilan emosi sering tampak di permukaan. Seringkali Indeks Harga Saham Gabungan – baik di bursa dunia maupun Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami tekanan atau koreksi bukan karena lemahnya fundamental ekonomi. Kita juga seringkali menyaksikan harga saham satu perusahaan merosot tajam atau sebaliknya meningkat drastis bukan karena faktor fundamental, tapi lebih banyak disebabkan oleh sentimen pasar.
Disinilah, di satu sisi persoalan fundamental ekonomi, fundamental kinerja keuangan emiten dinilai oleh kemampuan dan tingkat kecerdasan investor. Tapi di sisi lain, di luar faktor fundamental, keputusan investasi investor seringkali dikendalikan oleh emosi, sentimen pasar yang kadang-kadang bertolak belakang dengan kondisi fundamentalnya. Disinilah perlunya keseimbangan antara kecerdasan intelektual (IQ) dengan kecerdasan emosi (EQ). Masalah keseimbangan antara intelektual dan emosi, dewasa ini sudah menjadi trend masyarakat modern. Gerakan ESQ yang menonjolkan bagaimana mengelola kecerdasan emosional yang dipelopori Ary Ginanjar mulai menyebar kemana-mana.
Dalam dunia investasipun ternyata keseimbangan intelektual dan emosi sangat menentukan terhadap hasil investasi. Penulis buku The Investor’s Quotient dan Day Trader Jake Bernstein menegaskan kecerdasan investasi dan keseimbangan emosi merupakan dua kekuatan utama yang harus dimiliki investor untuk meraih sukses. Aspek emosi ini mencakup self-knowledge(pengenalan), self-control(pengendalian) dan self-discipline (pendisiplinan).
Tanpa memiliki keseimbangan emosi, investor akan melakukan keputusan investasi secara emosional. Pola perdagangannya cenderung bersifat jangka pendek, keluar masuk pasar secara cepat dan bersifat harian. Pola investasi seperti ini, memperlihatkan betapa pengaruh emosi, psikologi lebih dominan dibandingkan pertimbangan intelektual. Investor kadang-kadang menjadi penakut, tapi kadang-kadang menjadi sangat berani, dan kadang-kadang menjadi tamak, serakah.
Aktifitas perdagangan di bursa efek seringkali mempertontonkan bagaimana order jual dan atau order beli dilandasi emosional sesaat. Gambarannya begini. Investor X memantau pergerakan harga saham melalui layar komputer, katakanlah saham XYZ. Tibatiba ia meneriakkan order jual. ‘’Jual XYZ 50 lot di Rp 9.100’’. Tidak lama harga saham XYZ turun menjadi Rp 8.900. Si investor berteriak lagi,’’Jual XYZ 40 lot di Rp 8.900.’’ Begitu seterusnya, sampai akhirnya XYZ ditutup di Rp 8.500.
Investor X lega karena bisa menjual XYZ di harga lebih tinggi dari harga penutupan. Tapi esok harinya dan hari-hari berikutnya, saham XYZ rebound, setiap hari naik hingga mencapai Rp 10.000. Investor X tidak berani beli. Padahal, investor X tahu bahwa fundamental XYZ bagus dan mestinya fair value-nya Rp 10.500. Ia juga tahu tidak ada informasi material yang menyebabkan harga XYZ harus terkoreksi.
Ketika harga saham XYZ naik kembali, investor X menyesal. Ia tidak berani buy back. Dan ia kehilangan potensi keuntungan yang cukup besar. Andai saja emosi X stabil dan bisa mengendalikan diri, ia mestinya meraih keuntungan yang besar. Secara logika mestinya ia tidak menjual saham XYZ. Begitulah pasar saham. Kadang-kadang emosi lebih menentukan dibandingkan akal sehat. Ketika harga saham masih rendah, tidak ada yang berani beli. Tapi ketika harga saham diserbu dan naik tinggi, investor malah antusias untuk membeli.
Contoh fenomena di atas persis yang dialami Bear. Andai saja Bear memiliki kecerdasan investasi dan kestabilan emosi yang baik, bisa jadi ia tidak akan buru-buru dan puas diri dengan menjual sahamnya di Rp 3.200. Andaikan saja Bear tetap menahan saham TINS yang dibelinya, dan berhasil menjualnya di Rp 38.800 maka uang Bear akan menjelma menjadi Rp 1,94 miliar. Kondisi ini hanya bisa terjadi jika Anda memiliki IQ investasi yang tinggi, kecerdasan dan kestabilan emosi. Karena itu, kendalikan emosi sebelum Anda membuat keputusan investasi. Tim BEI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar